Puing-Puing Hati Menuju Matahari
Oleh: M.E. Lase
Hiruk pikuk di halte bus bandara Soekarno-Hatta sudah mulai berkurang seiring dengan semakin larutnya malam. Taxi sudah banyak yang lewat menawarkan jasanya. Saya belum berniat beranjak dari tempat duduk di sudut yang berangsur-angsur jadi cozy itu. Pikiran saya masih menerawang mencari sebuah penguatan agar saya tidak pergi ke loket dan membeli tiket kembali ke negara yang baru saja saya tinggalkan.
Sebenarnya saya sudah sangat rindu momen ini. Ada matahari yang saya nantikan di negeri ini. Enam tahun di negeri Paman Sam dalam rangka kuliah sungguh tidak pernah membuatku lupa akan suasana di negeri sendiri. Tidak setertib di luar negeri, tetapi ada sesuatu yang tidak saya rasakan ketika berada jauh dari sini. Di atas semuanya, jangan tanya masalah kemacetan, pah, Itu hal yang tidak akan pernah saya rindukan. Makanannya, itu yang saya selalu rindukan. Apalagi masakan ibu saya.
Mengingat ibu, saya kembali menggelengkan kepala dan mendesah berat. Saya mengasihi mereka, ibu dan adikku. Tapi sikap mereka yang sering menghalangi langkahku untuk kembali ke Indonesia. Seandainya ayah masih ada, mungkin ada satu alasan kuat yang membuat saya kembali tiap liburan. Masalahnya bukan ongkos. Pekerjaan saya disana termasuk baik dan dapat menutupi kebutuhan kuliah bahkan tabungan.
Saking larutnya dengan pikiran sendiri, Blackberry saya yang masih dalam keadaan off sejak turun dari pesawat hampir saya lupakan. Saya keluarkan dari saku kemeja dan mulai membaca recent updates. Salah satu status mengatakan: Life is fragile, so handle it with care. Menarik menurutku. Memang benar sesuatu yang rapuh itu harus diperlakukan dengan sangat hati-hati. Tapi bukankah kerapuhan itu diciptakan? Jika diciptakan maka kerapuhan itu akan bisa dibentuk menjadi lebih kuat, bukan? Seorang bayi dilahirkan rapuh, membutuhkan perhatian yang intens untuk akhirnya menjadi kuat dan besar. Seorang cacat baik sejak lahir maupun karena kondisi, awalnya rapuh, tapi sejauh yang saya ketahui mereka bertumbuh menjadi kuat dan tidak tinggal diam dalam kerapuhannya.
Semakin saya memikirkan ungkapan menarik ini, semakin saya mantap untuk akhirnya beranjak dari tempat duduk, membayar pesanan saya, dan mengangkat koper menuju parkiran taxi. Bus yang menuju daerah saya sudah tidak ada lagi, jadi saya memutuskan untuk naik taxi, sekalian membenahi perasaan dan pikiran yang lagi carut-marut.
Sambil menyandarkan kepala ke belakang, saya menyadari betapa lelahnya hari ini. Lampu-lampu jalanan sudah meramaikan suasana malam ini. Supir taxi seakan tahu kegalauan di dada, dan tidak berusaha memulai percakapan.
Jika bukan karena ibu saya yang lagi terbaring sakit karena stroke, saya tidak akan kembali. Baru seminggu setelah saya menelepon ke rumah, saya mendapatkan kabarnya. Itu juga saya yang telepon, bukan ibu, bukan Angga. Seorang sanak saudara pun tidak ada yang memberitahukan kabar ini, mungkin alasannya tidak ingin mengganggu kuliah saya. Sebenarnya kuliah saya sudah selesai, sekarang tinggal menunggu jadwal wisuda. Jurusan Hukum Internasional yang saya ambil telah berhasil saya selesaikan dengan mudah.
Masih terngiang percakapan terakhir dengan Angga di telepon yang selalu berakhir tidak menyenangkan.
"Ibu nga apa-apa. Nga usah sok perhatianlah. Dia sudah cukup sakit memikirkan anaknya yang sibuk dengan diri sendiri sementara anaknya yang lain harus menemani dan mendengarkan dia terus setiap hari", jawabnya ketus setelah saya menanyakan kabar ibu.
"Saya tidak mau mengulang lagi ya pertanyaan mengapa kamu tidak melanjutkan kuliah. Ibu kan ada mbok Ratih yang menjaga. Lagian pindah kuliah 2 kali dan berhenti di tengah jalan, apa itu tidak jadi beban pemikiran ibu?" saya tak kuasa menahan diri mengungkit masa lalu.
"Tahu apa kamu tentang keadaan di sini. Memang kamu sangat mengasihi ibu sampai kau tega meninggalkan dia di sini. Emang cukup menelepon sekali sebulan? Nga usah repotlah, di sini juga sudah cukup banyak masalah", ia mulai lagi dengan ironinya.
Berhasil juga ibu mendoktrin dia dengan pandangan itu. Saya tidak berusaha membela diri. Dalam hati saya hanya mengasihani ibu yang harus menghadapi anak seperti itu. Tidak pernah kami bisa akur sejak kecil. Padahal anak ibu hanyalah kami berdua.
Ayah yang sudah tidak ada sejak kuliah saya baru memasuki semester ketiga, pasti akan melerai pertengkaran kami dengan netral. Bersama ayah, saya mendapat dukungan, walaupun ia tidak pernah mau menunjukkannya dengan gamblang. Tapi Angga selalu saja mencari dukungan ibu. Yang selalu saya tidak habis pikir, kenapa ibu selalu membela dia. Jika saya bertanya ibu selalu menjawab, "Yang kakak harus mengalah dong sama adik".
Saya sangat merindukan ayah saat ini. Saya tidak pernah dimanja oleh mereka berdua, tetapi justru karena saya sering dilepas, saya merasa lebih bisa berdiri sendiri dibandingkan Angga. Kuliah ke Amerika pun saya lakukan dengan modal nekat. Dengan biaya sendiri, diantar setengah hati oleh ayah, ibu dan Angga. Saya tidak memusingkan apakah mereka tahu keputusan ini saya ambil karena ingin lepas dari konflik batin yang hanya bisa saya pendam selama ini.
Tidak terasa taxi yang mengantar saya tiba di depan sebuah rumah yang tidak asing lagi. Setelah menurunkan bagasi, saya berhenti sebentar melihat kondisi rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun di bawah sinar lampu taman saya bisa melihat bahwa tidak banyak perubahan kecuali sedikit bunga yang sudah mulai layu, tampaknya jarang disirami di musim kemarau ini. Mereka tidak tahu kalau saya datang. Biarkan ini jadi surprise.
Dengan langkah ragu-ragu bercampur tidak sabar, saya mengetuk pintu. Pada ketukan ketiga baru terdengar sahutan, "ya, sebentar". Seorang ibu tua membukakan pintu.
"Mbok, apa kabar?" sapa saya terharu melihat betapa makin berumurnya dia. Umurnya terpaut 5 tahun di atas ibu saya, dan sudah lama bekerja disini. Dia sudah saya anggap seperti tante saya sendiri.
Mbok Ratih dengan tatapan tidak percaya membawa saya masuk dengan tidak berhenti menanyakan kabar saya. Ketika sudah di depan pintu kamar ibu, mbok Ratih berpesan, "Jangan kaget ya nak. Ibumu sangat membutuhkanmu saat ini".
Dengan pelan saya buka pintunya. Mata ibu terpejam, sepertinya sedang tidur. Terdengar suara nafas yang berat dari hidungnya. Saya sudah hampir seperempat jam duduk disini ketika ibu terbangun. Mata ibu masih belum terbiasa sehingga ia harus memicingkan mata sedikit ketika memandang padaku. Dengan pandangan bertanya ia berkata, "Angga, kamu darimana saja, nak?"
Saya tak kuasa menahan air mata, ingin saya memeluk ibu, tapi ketika ia bertanya tentang Angga, tekanan darah saya berubah naik sedikit. Dengan tetap mempertahankan suara saya pelan berkata,"Ini Edo, bu. Saya baru tiba dari bandara."
Air muka ibu yang tadinya penuh kuatir berubah sedikit menjadi tidak percaya bercampur senang. "Edo, benar itu kamu? Kenapa kamu pulang? Kamu dengar tentang ibu dari siapa?" Saya agak kuatir dengan warna muka ibu yang memerah, saya panggil mbok Ratih sebentar, lalu duduk lagi di samping ibu.
"Jawab ibu, nak. Mengapa kamu baru pulang sekarang?" titik-titik air mata mulai mengaliri pipinya yang sudah tidak segar lagi.
"Edo harusnya yang bertanya, bu. Kenapa Edo tidak diberitahu masalah penyakit ibu. Angga selalu saja mencari masalah," jawab saya dengan sedikit terluka.
"Adikmu itu kan masih labil. Kasihan dia masih ingat almarhum papa kalian," bela ibu.
Saya tetap berusaha menahan diri untuk tidak menjawab ibu, padahal dalam hati saya sudah ingin mengutarakan keberatan.
Dalam hati saya berpikir tuh, kan. Ibu belum berubah juga memperlakukan dia seperti boneka porselen. Dia itu sudah besar, bu. Usia 26 tahun bukan usia yang labil lagi menurut Edo. Lagian saya nga yakin dia itu masih mikirin papa.
"Angga kemana,bu?" saya mencoba menghilangkan perasaan kesal saya.
"Dia pulang sekali-sekali. Dia membantu menjalankan usaha Dina di luar kota,"jawab ibu sambil memperbaiki duduknya. Lumayan, dengan penghasilannya dia bisa membantu ibu disini. Ibu kan sudah tidak kuat bekerja lagi sepeninggal papamu.
Berjuta pertanyaan berkecamuk di dada, namun satu yang keluar,"Dina itu siapa?"
"Oh, kamu belum tahu ya, itu calon istrinya Angga,"sahut ibu sambil menerawang jauh. "Dia itu baik, tidak pelit."
"Jadi maksud ibu, Edo selama ini pelit?"sakit hati saya mendengar pendapat ibu.
"Bukan. Kamu juga sekali-sekali mengirim ke ibu, tapi kan kamu juga butuh untuk kuliah kamu,"jawabnya.
Dalam hati saya mendeteksi satu perubahan, pengertian ibu akan kebutuhan anaknya. Apa ini fatamorgana saja? Saya masih mengharapkan sesuatu terjadi yang bisa mengurungkan niat dalam hati.
"Istrahatlah, kamu pasti capek," kata ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Keesokan harinya, saya berjalan-jalan mencoba menikmati daerah yang sudah lama saya tinggalkan. Bertemu teman-teman lama sulit juga sekarang, kecuali satu dua yang sehari-harinya di rumah, alias tidak bekerja. Dari mereka jugalah saya tahu kondisi rumah sepeninggal ayah selama saya kuliah. Diriku seakan-akan memiliki sederetan daftar hitam di keluarga.
"Bener, Do,"kata Budi, salah satu teman SMA yang saya temui. "Gua nga percaya si, tapi ibumu sendiri bilang kalo kamu tuh sombong, pelit, nga perhatian sama keluarga."
Kata-kata itu selalu terngiang ketika saya membaringkan diri di kamar, ziarah ke makam papa, kunjungan ke teman-teman yang lain.
Angga yang pulang sekali-sekali seperti kata ibu, tetap disambut layaknya raja. Sementara sejak saya disini, tidak banyak ditanyai tentang hidup saya, kesulitan saya, seakan-akan saya tidak ada.
Puncak kekesalan saya malam ini, ketika itu ibu dan saya lagi nonton tv di ruang tengah, suara mobil memecah keheningan kami. Angga mabuk dipapah oleh seorang wanita cantik, sepertinya berumur. Dia tersenyum, mengucapkan halo bu,lagi santai ya, melirik saya sebentar, mengangguk, lalu menuntun Angga ke kamar dan tidak keluar lagi. Ibu tersenyum sejenak lalu kembali menonton. Menyadari pandangan saya yang heran bercampur marah, ibu melirik sambil berkata,"Sudahlah, mereka baru habis ada pesta. Kaya nga tau aja anak muda."
Keterperanjatan saya belum berakhir ketika ibu melanjutkan,"Papamu dulu tidak pernah marah ke Angga karena dia tahu kalau Angga itu rapuh. Jangan sekali-sekali kamu buat dia patah hati."
Dalam hati ingin saya berteriak, menampar Angga, mengusir perempuan di kamar Angga itu dari rumah ini. Puing-puing di hati semakin banyak hingga dada ini terasa sakit. Dan bertambah sakit ketika ibu berkata sambil menaruh tangannya di atas tanganku,"Ibu akan sehat-sehat saja selama kalian tidak bertengkar."
Kerapuhan itu ternyata dipertahankan, walaupun hasilnya sakit buat sekelilingnya. Saya sudah bulatkan tekad, jawaban yang selama ini saya tunggu-tunggu sudah menunjukkan diri. Keesokan harinya, ketika perempuan itu baru keluar dari kamar Angga, saya sudah pamitan pada ibu dengan alasan liburan saya sudah selesai.
Di pesawat saya mencoba mengumpulkan puing-puing yang bertebaran di hati, membuangnya lewat jendela pesawat. Tetapi tidak bisa. Akhirnya saya hanya bisa termenung, menangis, membiarkan bayangan ibu yang menderita namun tidak mau mengakuinya karena takut pada anaknya sendiri. Membiarkan adik saya menikah dengan janda sebaya ibu dan meneruskan kelakuan bossynya di rumah. Biar. Biarlah.
Tiba-tiba pesawat yang sedari tadi melewati awan, menembus langit yang cerah tak berawan. Ada matahari menanti di depan sana. Ia menyambutku. Hangat.
Comments